Peradilan internasional adalah unsur unsur atau komponen lembaga peradilan internasional yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan dalam rangka mencapai peradilan internasional. Dalam sejarah dunia, kasus pelanggaran hak asasi manusia yang pertama kali digelar oleh pengadilan internasional adalah kasus yang dilakukan oleh mantan Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic. Slobodan Milosevic meninggal dalam penjara di Den Haag, Belanda pada usia 64 tahun pada tanggal 11 Maret 2006 sebelum hakim mengetukkan palu vonis.
Di suatu negara yang akan dibentuk pengadilan internasional atas kasus pelanggaran berat hak asasi manusia apabila pemerintah negara yang bersangkutan tidak berdaya dan tidak sanggup menciptakan pengadilan yang objektif, pelanggaran HAM tersebut mengancam perdamaian internasional ataupun regional, dan berlangsung konflik yang terus-menerus.
Pembentukan pengadilan internasional harus mendapat persetujuan Dewan Keamanan PBB terlebih dahulu. Lembaga yang menangani persoalan sengketa dan tindakan kejahatan internasional dalam struktur organisasi PBB salah satunya adalah Mahkamah Internasional (MI) merupakan organisasi langsung dari PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Fungsi utama mahkamah internasional adalah menyelesaikan kasus-kasus persengketaan internasional yang subjeknya adalah negara.
Kewenangan yang dimiliki oleh MI untuk menegakkan aturan hukum internasional adalah memutus perkara terbatas terhadap pelaku kejahatan berat oleh warga negara dari negara yang telah meratifikasi statuta mahkamah. Empat jenis kejahatan berat, yaitu sebagai berikut.
Poses penanganan dan peradilan terhadap pelaku kejahatan HAM internasional secara umum sama dengan penanganan dan peradilan terhadap pelaku kejahatan yang lain, sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia. Secara garis besar, apabila terjadi pelanggaran HAM yang berat dan berskala internasional, proses peradilannya sebagai berikut.
Pembentukan pengadilan internasional harus mendapat persetujuan Dewan Keamanan PBB terlebih dahulu. Lembaga yang menangani persoalan sengketa dan tindakan kejahatan internasional dalam struktur organisasi PBB salah satunya adalah Mahkamah Internasional (MI) merupakan organisasi langsung dari PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Fungsi utama mahkamah internasional adalah menyelesaikan kasus-kasus persengketaan internasional yang subjeknya adalah negara.
Kewenangan yang dimiliki oleh MI untuk menegakkan aturan hukum internasional adalah memutus perkara terbatas terhadap pelaku kejahatan berat oleh warga negara dari negara yang telah meratifikasi statuta mahkamah. Empat jenis kejahatan berat, yaitu sebagai berikut.
- Kejahatan genosida (the crime of genocide), yaitu tindakan jahat yang berupaya untuk memusnahkan keseluruhan atau sebagian dari suatu bangsa, etnik, ras, ataupun kelompok keagamaan tertentu.
- Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity), yaitu tindakan penyerangan yang luas atau sistematis terhadap populasi penduduk sipil tertentu.
- Kejahatan perang (war crime), yaitu meliputi tindakan berkenaan dengan kejahatan perang, khususnya apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut. Semua tindakan terhadap manusia atau hak miliknya yang bertentangan dengan Konvensi Jenewa (misalnya, pembunuhan berencana, penyiksaan, eksperimen biologis, menghancurkan harta benda, dan lain-lain). Kejahatan serius yang melanggar hukum konflik bersenjata internasional (misalnya, menyerang objek-objek sipil bukan objek militer, membombardir secara membabi-buta suatu desa atau penghuni bangunan-bangunan tertentu yang bukan objek militer).
- Kejahatan agresi (the crime of aggression), yaitu tindak kejahatan yang berkaitan dengan ancaman terhadap perdamaian.
Poses penanganan dan peradilan terhadap pelaku kejahatan HAM internasional secara umum sama dengan penanganan dan peradilan terhadap pelaku kejahatan yang lain, sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia. Secara garis besar, apabila terjadi pelanggaran HAM yang berat dan berskala internasional, proses peradilannya sebagai berikut.
- Jika suatu negara sedang melakukan penyelidikan, penyidikan atau penuntutan atas kejahatan yang terjadi, maka pengadilan pidana internasional berada dalam posisi inadmissible (ditolak) untuk menangani perkara kejahatan tersebut. Akan tetapi, posisi inadmissible dapat berubah menjadi admissible (diterima untuk menangani perkaran pelanggaran HAM), apabila negara yang bersangkutan enggan (unwillingness) atau tidak mampu (unable) untuk melaksanakan tugas investigasi dan penuntutan.
- Perkara yang telah diinvestigasi oleh suatu negara, kemudian negara yang bersangkutan telah memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan lebih lanjut terhadap pelaku kejahatan tersebut, maka pengadilan pidana internasional berada dalam posisi inadmissible. Namun, dalam hal ini, posisi inadmissible dapat berubah menjadi admissible bila putusan yang berdasarkan keengganan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unability) dari negara untuk melakukan penuntutan.
- Jika pelaku kejahatan telah diadili dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka terhadap pelaku kejahatan tersebut sudah melekat asas nebus in idem. Artinya, seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama setelah terlebih dahulu diputuskan perkaranya oleh putusan pengadilan peradilan yang berkekuatan tetap.
Putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan itu bersalah, berakibat akan jatuhnya sanksi. Sanksi internasional dijatuhkan kepada negara yang dinilai melakukan pelanggaran atau tidak peduli terhadap pelanggaran hak asasi manusia di negaranya. Sanksi yang diterapkan bermacam-macam, di antaranya:
- Diberlakukannya travel warning (peringatan bahaya berkunjung ke negara tertentu) terhadap warga negaranya,
- Pengalihan investasi atau penanaman modal asing,
- Pemutusan hubungan diplomatik,
- Pengurangan bantuan ekonomi,
- Pengurangan tingkat kerja sama,
- Pemboikotan produk ekspor,
- Embargo ekonomi.