Rabu, 01 Januari 2020

Perundingan-Perundingan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia




 Aktivitas Diplomasi Indonesia di Dunia Internasional untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 

                Salah satu bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan adalah perjuangan diplomasi, yakni perjuangan melalui meja perundingan. Ketika Belanda ingin menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia temyata selalu mendapat perlawanan dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemimpin Sekutu berusaha mempertemukan antara pemimpin Indonesia dengan Belanda melalui perundingan-perundingan sebagai berikut:
1. Pertemuan Soekarno-Van Mook
2.Pertemuan Sjahrir-Van Mook
3. Perundingan Sjahrir-Van Mook
4. Perundingan di Hooge Veluwe
5. Perundingan Linggajati
6. Perundingan Renville
7. Persetujuan Roem-Royen            
8. Konferensi Meja BUndar (KMB) 

Berikut Penjelasan Perundingan-Perundingan dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia seperti dibawah ini….





1. Pertemuan Soekarno-Van Mook

Pertemuan antara wakil-wakil  Belanda dengan para pemimpin Indonesia diprakarsai oleh Panglima AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober 1945. 

Dalam pertemuan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh, sebagai berikut…
1.       Soekarno, Mohammad Hatta
2.       Ahmad Sobardjo,
3.       H. Agus Salim,
 sedangkan pihak Belanda  diwakili Oleh , sebagai berikut….
1.       Van Mook  
2.       Der Plas.
Pertemuan ini merupakan pertemuan untuk menjajagi kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih. Presiden Soekamo mengemukakan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk berunding atas dasar pengakuan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan Van Mook mengemukakan pandanganya mengenai masalah Indonesia di masa depan bahwa Belanda ingin menjalankan untuk Indonesia menjadi negara
lingkungan kerajaan Belanda. Yang terpenting menurut Van Mook bahwa pemerintah Belanda akan memasukkan Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakan Van Mook tersebut disalahkan oleh Pemerintah Belanda terutama oleh Parlemen, bahkan Van Mook akan dipecat dan jabatan wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Indonesia).



2. Pertemuan Sjahrir-Van Mook

Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 17 November 1945 bertempat di Markas Besar Tentara Inggris di Jakarta (Jalan Imam Bonjol No.1). Dalam pertemuan ini pihak Sekutu diwakili oleh Letnan Jenderal Christison, pihak Belanda oleh Dr. H.J. Van Mook, sedangkan delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir.  Sebagai pemrakarsa pertemuan ini,
Christison bermaksud mempertemukan pihak Indonesia dan Belanda di samping menjelaskan maksud kedatangan tentara Sekutu, akan tetapi pertemuan ini tidak membawa hasil.


3. Perundingan Sjahrir -Van Mook

Pertemuan-pertemuan yang diprakarsai oleh Letnan Jenderal Christison selalu mengalami kegagalan. Akan tetapi pemerintah Inggris terus berupaya mempertemukan Indonesia dengan Belanda bahkan ditingkatkan menjadi perundingan. Untuk mempertemukan kembali pihak Indonesia dengan pihak Belanda, pemerintah Inggris mengirimkan seorang diplomat ke Indonesia yakni Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah. Pada tanggal 10 Februari 1946 perundingan Indonesia-Belanda dimulai
Pada waktu itu Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sebagai berikut.
(1) Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda.
(2) Urusan dalam negeri dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda.

Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara lain sebagai berikut.
(1) Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda.
(2) Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda. 

           Usul dan pihak Indonesia di atas tidak diterima oleh pihak Belanda dan selanjutnya Van Mook secara pribadi mengusulkan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai wakil Jawa untuk mengadakan kerja sama dalam rangka pembentukan negara federal dalam lingkungan Kerajaan Belanda.  Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir mengajukan usul baru kepada Van Mook antara lain sebagai berikut.
(1) Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto Ri atas Jawa dan Sumatera.
(2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
(3) RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan negara Belanda.


4. Perundingan di Hooge Veluwe

Perundingan ini dilaksanakan pada tanggal 14-25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri Belanda), yang merupakan kelanjutan dan pembicaraan-pembicaraan yang telah disepakati Sjahrir dan Van Mook. Para delegasi dalam perundingan ini adalah:

Dari Pihak Pemerintah Republik Indonesia ialah…
      1.       Mr. Suwandi,
      2.       dr. Sudarsono,
      3.       Mr. A.K. Pringgodigdo
Sedangkan Dari pihak Belanda Ialah…
      1.       Dr. Van Mook,
      2.       Prof. Logemann,
      3.       Dr. Idenburgh,
      4.       Dr. Van Royen,
      5.       Prof. Van Asbeck,
      6.       Sultan Hamid II,
      7.       Surio Santosa
Dan Sebagai Titik Penengah Diwakili Oleh Sekutu, yakni.  Sir Archibald Clark Kerr

Perundingan yang berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda tidak bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan Sumatra tetapi hanya Jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul bagi pemerintahannya kepada pihak RI.

 

5. Perundingan Linggajati  
Walaupun Perundingan Hooge Veluwe mengalami kegagalan akan tetapi dalam prinsipnya bentuk-bentuk kompromi antara Indonesia dan Belanda sudah diterima dan dunia memandang bahwa bentuk-bentuk tersebut sudah pantas. Oleh karena itu pemerintah Inggris masih memiliki perhatian besar terhadap penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda dengan mengirim Lord Killearn sebagai pengganti Prof Schermerhorn.

Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan wakil-wakil pemerinth Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam peruñdingan ini masalah gencatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn. Hasil kesepakatan di bidang militer sebagai berikut:

(1). Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan  militer Sekutu serta Indonesia.
(2). Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata. 
Dalam mencapai kesepakatan di bidang politik antara Indonesia dengan Belanda diadakanlah Perundingan Linggajati. Perundingan ini diadakan sejak tanggal 10 November 1946 di Linggajati, sebelah selatan Cirebon.


Delegasi Belanda dipimpin oleh Sebagai berikut…
·         Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya ialah  :

1.       Max Van Poll,
2.       F. de Baer
3.       H.J. Van Mook.


Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sebagai berikut…

Perdana Menteri Sjahrir, dengan anggotanya ialah :
1.       Mr. Moh. Roem, Mr. Amir
2.       Sjarifoeddin,
3.       Mr. Soesanto Tirtoprodjo,
4.       Dr. A.K. Gani,
5.       Mr. Au Boediardjo.

Sedangkan sebagai penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris istimewa Inggris untuk Asia Tenggara.
Hasil Perundingan Linggajati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah sebagai berikut.

(1) Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.

(2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.

(3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Meskipun isi perundingan Linggajati masih terdapat perbedaan penafsiran antara Indonesia dengan Belanda, akan tetapi kedudukan Republik Indonesia di mata Internasional kuat karena Inggris dan Amerika memberikan pengakuan secara de facto.



6. perundingan Renville

Perbedaan penafsiran mengenai isi Perundingan Linggaiati semakin memuncak dan akhirnya Belanda melakukan Agresi Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947. Atas prakasa Komisi Tiga Negara (KTN), maka berhasil dipertemukan antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam sebuah perundingan Perundingan ini dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville” yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan Renville ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di mana pihak Indonesia mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda.
Hasil perundingan Renville baru ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 yang intinya sebagai berikut.

(1) Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS).

(2) Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di daerah-daerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain dan Negara Indonesia Serikat.

(3) Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS atau dengan Nederland. 

Akibat dari perundingan Renville ini wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera menjadi lebih sempit lagi. Akan tetapi, RI bersedia menandatangani penjanjian ini karena beberapa alasan di antaranya adalah karena persediaan amunisi perang semakin menipis sehingga kalau menolak berarti belanda akan menyerang lebih hebat. Di samping itu juga tidak adanya jaminan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menolong serta RI yakin bahwa pemungutan suara akan dimenangkan pihak Indonesia.



7. Persetujuan Roem-Royen

Ketika Dr. Beel menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia mempunyai pandangan yang berbeda dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia berpendirian bahwa di Indonesia harus dilaksanakan pemulihan kekuasaan pemerintah kolonial dengan tindakan militer. Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel mengumumkan tidak terikat dengan Perundingan Renville dan dilanjutkan tindakan agresi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 06.00 pagi dengan menyerang ibu kota RI yang berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan peristiwa ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesian atau UNCI). Komisi UNCI bertugas membantu me!ancarkan perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Mei 1949 Mr. Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen se!aku ketua delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan sebagai berikut.


1). Pernyataan Mr. Moh Roem.
a. Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Repub!ik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
b. Bekerja sama da!am hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
c. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.

2). Pernyataan Dr. Van Royen

a. Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
c. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang berada di daerah-derah yang dikuasai RI sebe!um tanggai 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik
d. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dan Negara Indonesia Serikat.
e. Berusaha dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan sete!ah Pemerintah RI kemba!i ke Yogyakarta.



8. Konferensi Meja Bundar (KMB)
Salah satu pernyataan Roem-Royen adalah segera diadakan Konfereni Meja Bundar (KMB). Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah Konferensi Inter – Indonesia antara wakil-wakil Republik Indonesia dengan BFO (Bijjenkomst voor Federaal Overleg) atau Pertemuan Permusyawarahan Federal. Konferensi ini berlangsung dua kali yakni tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan ada tanggal 31 Juli - 2 AgustuS 1949 di Jakarta. Salah satu keputusan penting dalam konferensi ini ialah bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia atas penyerahan kedaulatan tanpa ikatan-ikatan politik ataupun ekonomi.
Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diadakanlah Konferensi Meja Bundar di Den Haag (Belanda). Sebagai ketua  KMB adalah Perdana Menteri Belanda, Willern Drees. Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, BFO di bawah pimpinan Sultan Hamid II dan Pontianak, dan delegasi Belanda dipimpin Van Maarseveen sedangkan dan UNCI sebagai mediator dipimpin oleh Chritchley.
Pada tanggal 2 November 1949 berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi dan persetujUan KMB adalah sebagai berikut.

1. Belanda mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir bulan Desember 1949.
2. Mengenai Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan.
3. Antara RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia -Belanda yang akan diketuai Ratu Belanda.
4. Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.
5. PembentUkan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.

Dan hasil KMB itu dinyatakan bahwa pada akhir bulan Desember 1949 Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 27 Desember 1949 diadakanlah penandatanganan pengakuan kedaulatan di negeri Belanda. Pihak Belanda ditandatangani oleh

1.       Ratu Juliana,
2.       Perdana Menteri Dr. Willem Drees
3.       Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen. 

Sedangkan delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J. Lovink nandatangani  naskah pengakuan kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini maka Indonesia berubah bentuk negaranya berubah menjadi negara serikat yakni Republik Indonesia Serikat (RIS).